Riwayat Lahir MBO DPRI Sunda Kecil

RIWAYAT LAHIR MBO DPRI SUNDA KECIL 

Oleh Wayan Sudarta

(Sekretaris Yayasan Kebaktian Proklamasi Provinsi Bali)

Latar Belakang

Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai titik kulminasi dengan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Ketika itu, Jepang yang telah menjajah Indonesia 3,5 tahun dan menyatakan kalah perang dengan sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, tetap saja berambisi mempertahankan kekuasaan di negeri tercinta ini. Selain itu, pihak Belanda yang telah pernah bercokol selama 3,5 abad di bumi Nusantara ini sebelum pendudukan Jepang tersebut, juga berambisi menjajah kembali Negara Kesatuan RI. Keadaan gawat yang membawa malapetaka besar itulah, yang menyebabkan bangsa Indonesia bangkit dengan semangat bergelora berjuang secara gigih untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan RI, walaupun dengan persenjataan dan personal yang serba terbatas.

Di Bali, perang kemerdekaan RI yang dikenal pula dengan nama revolusi fisik yang berlangsung dari tahun 1945 s.d 1949, dilakukan oleh para pejuang yang terhimpun dalam organisasi Markas Besar Oemoem Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil (sekarang: Nusa Tenggara). Organisasi ini merupakan organisasi militer bergabung bersama dengan rakyat yang telah diakui oleh segenap pejuang Kemerdekaan RI khususnya di Bali. Organisasi yang lahir dalam kancah berkobarnya perang kemerdekaan itu, disusun menurut susunan militer melalui proses dan perkembangan keadaan seperti yang akan diuraikan berikut ini.

Riwayat Lahir

Pada tanggal 23 Agustus 1945 diumumkan oleh Presiden RI Ir. Soekarno tentang pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) disertai seruan kepada para mantan Pembela Tanah Air (PETA), para mantan Parayoda, Heiho, Kaigun Heiho dan para pemuda lainnya untuk sementara bekerja di dalam BKR. Pada masa tersebut, di Bali dibentuk pula badan-badan perjuangan lainnya seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Denpasar dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Singaraja. Kedua badan perjuangan ini memiliki tekad yang sama, yakni membela dan mempertahankan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, yang berdasarkan Pancasila.

Dalam upaya menindaklanjuti Maklumat Pemerintah RI tanggal 5 Oktober 1945, tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), maka pada tanggal 1 Nopember 1945 bertempat di Kantor Gubernur Sunda Kecil di Singaraja, diadakan rapat dengan acara pokok membentuk TKR Sunda Kecil. Rapat tersebut dipimpin oleh Gubernur Sunda Kecil I Gusti Ketut Pudja, dihadiri oleh Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sunda Kecil Ida Bagus Putra Manuaba, pimpinan badan-badan perjuangan dan dewan raja-raja di Bali. Dalam rapat tersebut, terpilih secara aklamasi I Gusti Ngurah Rai sebagai pucuk pimpinan atau pimpinan tertinggi TKR Sunda Kecil dengan pangkat mayor. Berbarengan dengan itu, ditetapkan pula anggota stafnya I Gusti Bagus Putu Wisnu, I Wayan Ledang dan lain-lain.

Sebagai pucuk pimpinan, I Gusti Ngurah Rai segera berinisiatif mengadakan pendekatan secara persuasif dengan pihak petinggi serdadu Jepang, memohon kepada mereka agar secara sukarela menyerahkan persenjataan kepada pihak TKR Sunda Kecil. Namun, permohonan melalui pendekatan tersebut, ditolak oleh petinggi serdadu Jepang. Oleh karena itu, beliau kemudian merencanakan untuk melucuti serdadu Jepang secara serentak di seluruh Bali. Meskipun beliau menyadari bahwa pihak TKR dan para pejuang lainnya hanya bermodalkan beberapa pucuk senjata api dan sebagian besar masih menggunakan senjata tradisional berupa bambu runcing, kelewang, pentong, keris, kapak dan senjata tajam lainnya. Sedangkan di pihak musuh (serdadu Jepang), memiliki persenjataan yang jauh lebih lengkap dan modern dengan personal yang lebih berpengalaman dalam perang. Serangan tersebut dilangsungkan pada tanggal 13 Desember 1945 pukul 24.00 di bawah komando Resimen TKR Sunda Kecil. Gerakan pelucutan senjata pada tiap-tiap kabupaten diseluruh Bali, di bawah komando TKR setempat.

Tatkala tanda pengerahan pasukan pejuang (pasukan penyerang) yang berupa pukulan kentongan dan pukulan alat-alat lain berbunyi sebagai tanda serangan, ternyata serdadu Jepang telah siap bertahan di asrama-asrama dan menenpati posisi di tempat-tempat strategis di seluruh Bali. Mereka secara cepat melepaskan tembakan-tembakan gencar ke arah pasukan pejuang sebagai pasukan penyerang. Dalam suasana seperti itu, pasukan pejuang, mengambil alternatif mengundurkan diri.

Penyerangan terhadap serdadu Jepang di Kota Denpasar yang dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Rai juga mengalami kegagalan. Artinya, beliau beserta seluruh anggota pasukannya mengambil alternatif mengundurkan diri dari medan penyerangan. I Gusti Ngurah Rai dan perwira stafnya beserta beberapa orang pejuang lainnya, mengundurkan diri dan berlindung di Puri Kesiman, Kota Denpasar. Serdadu Jepang dengan cepat mengejar rombongan I Gusti Ngurah Rai dan mengepung Puri Kesiman. Namun, usaha itu sia-sia belaka, karena kesigapan I Gusti Ngurah Rai beserta rombongan, berhasil meloloskan diri dari kepungan itu, melalui lorong belakang puri Kesiman yang terhindar dari pengawasan serdadu Jepang. Melalui jalan setapak pada beberapa desa di Kabupaten Badung, rombongan segera menuju Banjar Mungsengan, Desa Catur, Kabupaten Bangli, yakni pada sebuah pondok kecil di tengah-tengah kebun kopi yang rindang milik keluarga puri Carangsari, Kabupaten Badung. Rombongan I Gusti Ngurah Rai yang mengundurkan diri ke tempat itu di antaranya I Made Widjakusuma (Pak Joko), I Gusti Bagus Putu Wisnu, Subroto Aryo Mataram, Cokorda Ngurah, dan Ida Bagus Tantera (Pak Poleng).

Di tempat yang tersembunyi dan sepi tersebut, I Gusti Ngurah Rai bersama anggota rombongan berhasil membuat keputusan bahwa I Gusti Ngurah Rai bersama beberapa perwira staf segera berangkat ke Jawa, untuk melaporkan situasi perjuangan kemerdekaan di Bali dan terutama memohon bantuan personal dan senjata kepada Pemerintah Pusat. Rombongan berangkat dari Banjar Mungsengan Desa Catur pada tanggal 19 Desember 1946, dengan cara menerobos hutan belantara menuju pantai Celukan Bawang, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng. Cara ini ditempuh, karena ketika itu pos-pos serdadu Jepang masih berdiri tegak yang dijaga oleh sejumlah serdadu bersenjata lengkap. Begitu juga mata-mata musuh yang berasal dari bangsa sendiri bertebaran di mana-mana. Dari pantai Celukan Bawang tersebut, rombongan mendapat pertolongan seorang nelayan yang menyediakan perahu miliknya untuk menyeberangkan rombongan ke Jawa. Rombongan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai itu, berhasil mendarat di Bayuwangi dengan selamat pada tanggal 1 Januari 1946.

Selama I Gusti Ngurah Rai beserta anggota rombongan berada di Jawa, yakni dari tanggal 1 Januari s.d 4 April 1946, pucuk pimpinan perjuangan di Sunda Kecil khususnya Bali, dipegang oleh I Made Widjakusuma yang dikenal dengan nama Pak Joko. I Made Widjakusuma menjalankan tugas-tugas kepemimpinan selama masa tersebut, berdasarkan instruksi pucuk pimpinan Resimen TKR Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai .

Misi Resimen TKR Sunda Kecil di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai, selama sekitar tiga bulan di Jawa tersebut, memberikan hasil yang gemilang. Semua permohonan, baik berupa tenaga personal, persenjataan maupun berupa keperluan lainnya untuk perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan RI di Bali, dikabulkan oleh Pemerintah Pusat. Pada waktu berada di Jawa, rombongan yang terdiri atas I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Bagus Putu Wisnu, Subroto Aryo Mataram, Cokorda Ngurah dan Wayan Ledang dilantik secara resmi oleh Kepala Staf Umum Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sebelumnya bernama TKR, atas nama Panglima Besar Jendral Sudirman, dan ditetapkan kepangkatan serta jabatan kepada Perwira Resimen TRI Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai selaku Komandan Resimen TRI Sunda Kecil dinaikkan pangkatnya dari Mayor menjadi Letnan Kolonel, sedangkan para perwira lainnya masih tetap dengan pangkat semula.

Rombongan I Gusti Ngurah Rai kembali dari Jawa dan berhasil mendarat di Yeh Kuning, Kecamatan Pekutatan,  Kabupaten Jembrana pada pagi hari tanggal 5 April 1946. Di sini rombongan dijemput, kemudian diantar oleh pejuang  setempat menuju Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, Kabupaten Tabanan. Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, merupakan banjar atau desa terpencil dan terletak di pedalaman Kabupaten Tabanan. Desa ini berjarak sekitar 13 km dari Kota Tabanan ke arah Barat Laut. Topografinya bergelombang dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Dalam suasana seperti itu, Desa Dalang relatif sulit diketahui atau dijangkau oleh pihak musuh yakni serdadu Belanda dan mata-mata mereka (yang terdiri atas bangsa awak).

Berdasarkan perintah Menteri Pertahanan Keamanan RI saat itu, maka pada tanggal 16 April 1946 dengan mengambil tempat di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, diadakan rapat yang dihadiri oleh pimpinan badan-badan perjuangan dan Staf Resimen TRI Sunda Kecil. Rapat tersebut menghasilkan badan perjuangan yang dinamakan Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil dan markasnya disebut MBO DPRI Sunda Kecil, yang berkedudukan di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang.

Dalam upaya mempermudah pembinaan wilayah dan memperlancar operasi DPRI Sunda Kecil, maka pada tiap-tiap kabupaten di Bali dibentuk Markas Besar (MB), pada tiap-tiap kecamatan dibentuk Markas Cabang (MC), pada tiap-tiap desa dibentuk Markas Ranting (MR) dan pada tiap-tiap banjar dibentuk Markas Anak Ranting (MAR) DPRI. Pada tingkat MB dan MAR, bagian-bagian yang paling menonjol meliputi bagian dapur umum, pengawal dan penghubung. Pada kedua tingkat ini tidak ada pasukan bersenjata.

Susunan dan personalia DPRI Sunda Kecil itu, sebagai berikut.

1.    a.  Pimpinan Umum (Pucuk Pimpinan)   : I Gusti Ngurah Rai

       b.  Ketua Staf merangkap                       : I Gusti Bagus Putu Wisnu

            Kepala Bagian Siasat

       c.  Wakil Kepala Staf merangkap           : Subroto Aryo Mataram

            Sekretaris

       d.  Pembantu                                           : I Gede Merta

 

2.    Bagian Intelegence Service                     : 1)  Ida Bagus Mahadewa (Ketua)

                                                                         2)  I Nyoman Pegeg

                                                                         3)  I Made Widjakusuma

                                                                         4)  Satyaning

                                                                         5)  I Gede Merta

                                                                         6)  I Nyoman Mantik

                                                                         7)  I Gusti Bagus Lipur

                                                                         8)  Subroto Aryo Mataram

                                                                         9)  Herauci

 

3.    Kepala Bagian Siasat                              : I Gusti Bagus Putu Wisnu, dibantu oleh seorang ajudan dan seorang ordonans

 

4.    Kepala Bagian Persenjataan                    : Tjokorda Ngurah dibantu oleh Sulastri

 

5.    Kepala Bagian PMK                               : I Gusti Ngurah Mataram dengan 14 orang anggota

 

6.    Kepala Bagian Keuangan, Urusan          : I Gusti Wayan Debes dengan Makanan,  Perumahan dan       pembantu- pembantunya

       Pengumpulan Barang

 

7.    Kepala Bagian Pengangkutan                 : I Gede Toyo dengan pembantu-pembantunya

 

8.    Kepala Bagian Perlengkapan                  : I Gusti Putu Jelantik dibantu oleh I Nyoman Kerap

 

9.    Kepala Bagian Kesehatan                       : Tjokorda Gede Oka

       Wakil                                                       : I Made Brata dengan beberapa orang pembantu

 

10.  Kepala Rombongan (Batalyon)              : I Gusti Bagus Putu Wisnu

       a.  Kepala Bagian I                                 : I Ketut Widjana

            Kepala Bagian II                                : I Gusti Ngurah Bagus Sugianyar

       b.  Kepala Bagian Cadangan                   : Tjokorda Ngurah

       c.  Kepala Bagian Istimewa                    : I Made Pugeg

       d.  Opsir Penghubung                              : Subroto Aryo Mataram

 

DPRI Sunda Kecil merupakan penggabungan Resimen TRI Sunda Kecil dengan badan-badan perjuangan lainnya, sehingga mempunyai kedudukan sebagai suatu badan perjuangan yang resmi dari Pemerintah RI khususnya di Provinsi Sunda Kecil untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Pada tanggal 16 April, yakni bersamaan dengan lahirnya MBO DPRI Sunda Kecil telah mendarat Kompi Angkatan Laut (AL) yang dipimpin oleh Kapten P. Markadi di Pantai Cekik, Gilimanuk, Kabupaten Jembrana. Hal ini merupakan salah satu dari realisasi pemberian bantuan Pemerintah RI kepada pasukan pejuang di Bali dalam menghadapi penjajah Belanda. Pasukan P. Markadi tersebut segera bergabung dengan pasukan pejuang di Jembrana dan pada tanggal 20 April 1946 bergabung dengan MBO DPRI Sunda Kecil di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang untuk bersama-sama bertempur di medan perang melenyapkan penjajah Belanda dari bumi Nusantara.

MBO DPRI Sunda Kecil di Banjar Munduk Malang Desa Dalang ini, merupakan pusat pertahanan kemerdekaan Negara Kesatuan RI di Provinsi Sunda Kecil, dan dalam menghadapi penjajah Belanda menempuh sistem gerilya. MBO DPRI Sunda Kecil merupakan cikal bakal berdirinya Kodam IX/Udayana yang berkedudukan di Kota Denpasar, dan Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai sebagai Pangdam IX/Udayana yang pertama.

Penutup

Demikianlah riwayat lahir MBO DPRI Sunda Kecil, yang merupakan peristiwa bersejarah bernilai tinggi dan mempunyai arti penting bagi perjuangan kemerdekaan RI pada masa revolusi fisik di Bali. Untuk mengenang dan mengagungkan peristiwa bersejarah itu, sekaligus pula untuk menyosialisasikan nilai-nilai kejuangan yang terkandung di dalamnya kepada generasi muda bangsa, maka di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, didirikan sebuah  “Monumen MBO DPRI Sunda Kecil”. Di samping itu, atas inisiatif Pengurus Yayasan Kebaktian Proklamasi Provinsi Bali, mulai tanggal 16 April 2010 di lokasi monumen  itu, diperingati sebagai Hari Lahir MBO DPRI Sunda Kecil, dengan upacara militer. MBO DPRI Sunda Kecil yang merupakan cikal bakal berdirinya Kodam IX/Udayana dan peristiwa penting bagi perjuangan kemerdekaan RI, patut dikenang dan dihormati. Jayalah Kodam dan Pangdam IX/Udayana, untuk Indonesia Raya. (Dari beragam sumber).

 

Sejarah dan Tantangan PPM Ke Depan

Oleh

Wayan Sudarta 

Pada tahun 1966, yakni pasca pemberontakan G 30S/PKI, diadakan persembahyangan bersama oleh para tokoh Veteran Desa Sobangan ( Badung ) dengan mengundang I Ketut Gede Dharma Yudha dan Kawan-kawan ( Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara ). Persembahyangan bersama itu diselenggarakan di Pura Puseh Gunung Agung / Sanggulan Desa Sobangan. Pura ini dipandang memberikan berkah banyak kepada pemuda gerilya yang bersembahyang di pura itu, pada masa revolusi fisik di Bali. Pada masa perjuangan kemerdekaan tersebut, Desa Sobangan dijadikan Markas Besar DPRI Cabang BAdung ( termasuk Denpasar ), di bawah pimpinan Tjokorda Agung Tresna.

Setelah selesai persembahyangan bersama, diadakan pertemuan informal, yakni dialog secara terbuka dan bersifat kekeluargaan antara para tokoh Veteran setempat dengan personal Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara tersebut. Pada saat pertemuan informal inilah , tercetus sebuah gagasan dari I Made Naros ( tokoh Veteran desa setempat ), bahwa putra putri Veteran perlu dihimpun dalam satu wadah, agar mereka bersatu padu dan tidak saling cakar dikemudian hari, sekaligus memperkuat mereka sebagai penerus cita-cita perjuangan Veteran.

Gagasan tersebut direspons dengan baik oleh I Ketut Gede Dharma Yudha dan kawan-kawan. Setelah melalui diskusi-diskusi yang panjang di kalangan Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara, maka pada awal tahun1969 I Ketut Gede Dharma Yudha, selaku Kepala staf Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara, menghadap Pangdam XVI/Udayana ( sekarang Pangdam IX/Udayana ), selaku Ketua Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara, untuk menyampaikan gagasan tersebut.

1). Makalah disampaikan dalam Latihan Kader Tingkat Madya PPM Provinsi Bali, tanggal 12 dan 13 Juli 2013 di Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana, Tabanan.

Ternyata gagasan itu, disambut baik oleh Pangdam yang pada waktu itu dijabat oleh Brigjen Soekertijo. I Ketut Dharma Yudha diperintahkan oleh Pangdam untuk segera menyusun AD dan ART organisasi yang akan dibentuk itu. I Ketut Gede Dharma Yudha mendiskusikan tugas ini dengan I Made Sanggra ( tokoh Veteran Gianyar ) dan diselesaikan dalam waktu singkat. Setelah konsep AD dan ART termasuk pemberian nama organisasi yang akan dibentuk itu selesai dibuat, disampaikan kepada Pangdam. Setelah konsep itu didiskusikan dengan Pangdam secara cermat, akhirnya Pangdam XVI/Udayana selaku Ketua Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara, mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 1 April 1969, No. 188/KPTS/MDLV/IV/1969 Tentang Pembentukan Organisasi dengan nama Persatuan Pemuda Panca Marga, (PPPM).

Keadaan tersebut menunjukkan, bahwa gagasan atau percikan pemikiran yang tercetus di Desa Sobangan seperti telah dikemukakan sebelumnya, merupakan cikal bakal lahirnya PPPM di Bali atau di Nusa Tenggara ( mengikuti wilayah kekuasaan Pangdam XVI/Udayana ). Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan tersebut dirintis pembentukan dan peresmian Ranting PPPM Sukawati ( Gianyar ) pada bulan Desember 1969 di Desa Singapadu, dilantik sebagai Ketua Pimpinan Ranting, I Wayan Windia . Kemudian pada bulan Januari 1970 bertempat di Desa Ubud, dibentuk dan diresmikan Ranting PPPM Ubud ( Gianyar ), yang dilantik sebagai Ketua Pimpinan Ranting Cokorda Gede Budi Suryawan. Kedua Pimpinan Ranting PPPM tersebut dilantik oleh Brigen TNI Soekertijo, Pangdam XVI/Udayana selaku Ketua Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara.

Kurang lebih setahun kemudian, Pangdam XVI/Udayana selaku Ketua Pimpinan daerah LVRI Nusa Tenggara, mengeluarkan Surat Tugas tanggal 27 Desember 1970, Nomor 627/KPTS/MDLV/XII/1970, kepada I Gusti Ngurah alit Yudha ( Putra bungsu Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai ) dan Anak Agung Anom Suartjana ( Putra sulung Pahlawan Anak Agung Mudita ). Surat Tugas itu menugaskan atau memberikan mandat kepada mereka sebagai berikut.

(1). Melaksanakan pembentukan PPPM Nusa Tenggara.

(2).  Melaporkan setiap setiap perkembangan penugasan Kepada Pangdam XVI/Udayana, selaku Ketua Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara.

Setelah melalui berbagai proses, pemegang mandat berhasil membentuk Pimpinan Harian Daerah (PHD) PPPM Nusa Tenggara, dalam rapat putra-putri Veteran tanggal 7 Maret 1971 di Denpasar. Berdasarkan hasil itu, Pangdam XVI/Udayana selaku Ketua Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 27 April 1971, Nomor 89/KPTS/S/MDLV/IV/1971, tentang Penetapan PHD PPPM Nusa Tenggara, dengan personalia sebanyak 17 orang, I Gusti Ngurah Alit Yudha sebagai Ketua Umum. PHD PPPM Nusa Tenggara ini dilantik oleh Brigjen TNI R. Soeprapto, Pangdam XVI/Udayana selaku Ketua Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara, pada tanggal 27 April 1971 di Pendopo Bali Hotel ( sekarang Inna Bali Hotel ) Denpasar. Pada tahun 1971, juga dibentuk Pimpinan Harian Cabang (PHC) PPPM pada semua Kabupaten di Bali, dengan seluruh ranting dan Anak Ranting PPPM.

Perjuangan pembentukan PPPM di tingkat nasional, dilakukan oleh Pimpinan Daerah LVRI Nusa Tenggara melalui Kongres – Kongres LVRI. Akhirnya dalam Kongres IV LVRI tahun 1978 di Medan, diantaranya ditetapkan agar segera dibentuk organisasi PPPM sebagai anak kandung orgnisasi LVRI, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah di seluruh Indonesia. Setelah melalui proses yang panjang, maka pada tanggal 22 Januari 1981 terbentuk organisasi ini di tingkat nasional, dengan nama Pemuda Panca Marga Legiun Veteran Republik Indonesia (PPM-LVRI). Tersusunlah Dewan Pimpinan Harian Pusat PPM-LVRI  sementara. Mulai tahun itu, terbentuk pula organisasi PPM-LVRI tingkat daerah di seluruh Indonesia.

Pada tanggal 7 s.d 10 Nopember 1983 bertempat di Pandaan Jawa Timur, diadakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I PPM-LVRI. Dalam Mukernas I PPM-LVRI ditetapkan Dewan Pimpinan Pusat PPM-LVRI ( sekarang Dewan Paripurna Pusat PPM ) dan Dewan Pimpinan Harian Pusat PPM-LVRI ( sekarang Pimpinan Pusat PPM ), yang dilantik oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat LVRI, Letjen TNI Achmad Taher.

Perlu diketahui, nama organisasi Persatuan Pemuda Panca Marga yang sekarang bernama Pemuda Panca Marga, diberikan oleh I Made Sanggra. Pertimbangannya, nama mencerminkan identitas suatu organisasi. Oleh karena itu, putra – putrid Veteran sebagai penerus cita – cita perjuangan Veteran, sangat tepat memakai Kode Etik Kehormatan Veteran  yakni Panca Marga sebagai nama organisasi. Bunyi selengkapnya Panca Marga itu sebagai berikut.

1.    Kami Veteran RI adalah warga Negara Republik Indonesia yang senantiasa siap sedia menjadi penegak dan pembela Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila.

2.    Kami Veteran RI adalah patriot, serta pecinta tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia sesuai dengan Sumpah Pemuda.

3.    Kami Veteran RI memiliki sifat – sifat kesatria, jujur dan menepati janji.

4.    Kami Veteran RI memiliki disiplin yang hidup, taat kepada organisasi, undang – undang negara dan selalu memegang teguh rahasia – rahasia negara.

5.    Kamu Veteran RI adalah manusia teladan yang bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, dalam melakukan tanggung jawab dan kewajiban.

Sejatinya, tugas PPM tidak ringan tetapi mulia dalam menghadapi tantangan pada masa depan. Telah dikemukakan sebelumnya, PPM sebagai penerus cita-cita perjuangan Veteran RI. Apa artinya itu? Disinilah PPM dituntut tampil terdepan bersama komponen terkait, untuk mengisi kemerdekaan, mengamankan Tri Pusaka Bangsa ( istilah lokal Keluarga Besar Pejuang Kemerdekaan RI di Bali ), yaitu NKRI, Pancasila dan UUD 1945 dan Empat Pilar Kebangsaan ( istilah nasional ), yaitu NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Semua itu berorientasi pada tercapainya cita-cita perjuangan Veteran, yang juga merupakan cita-cita nasional, seperti tertuang pada Pembukaan UUD 1945.

Dalam menjalankan tugas tersebut, ke depan PPM menghadapi beragam tantangan besar yang harus diwaspadai dan diatasi. Apa tantangan itu?. Merebaknya teroris, perang modern dan korupsi, memudarkan nilai-nilai kejuangan, kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, dan lainnya, layak didiskusikan secara cermat sebagai suatu tantangan yang harus diwaspadai dan dicarikan solusinya.

Merdeka !